Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan

25 Nov 2025

MBG berdampak pada Masyarakat Bawah " tepatkah? "

Penulis : R. Agus Syaefuddin

MBG ( makan bergizi gratis ) merupakan salah satu program pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan gizi Anak Bangsa.
Keberadaan MBG sendiri sangat dinantikan oleh banyak kalangan, terlebih lagi para pelajar dari tingkat PAUD Hingga SLTA.
Program tersebut merupakan salah satu program unggulan pemerintah ( Presiden) sesuai janji politiknya saat pencalonan.
Program yang menelan anggaran tidak sedikit tersebut diharapkan akan berdampak positif pada perkembangan dan kesehatan Anak Bangsa.
Sayangnya, program positif tersebut tidak dibarengi dengan penelitian atau peninjauan yang lebih dalam, apakah hanya bertujuan untuk meningkatkan kesehatan, hingga melupakan aspek lainnya ?
Dalam kenyataannya, program tersebut memang meningkatkan taraf kehidupan Masyarakat banyak, yang salah satunya adalah selain peningkatan gizi juga terbukanya lahan pekerjaan.
Namun apakah hanya cukup sampai disitu, tentunya tidak.
Tujuan baik jika tidak dibarengi dengan kebaikan lainnya tentu akan menimbulkan dampak yang kurang baik.
Keberadaan MBG tentu menyerap banyak faktor, salah satunya adalah meningkatnya kebutuhan bahan pokok yang diperuntukan bagi kelancaran MBG itu sendiri.
Beberapa penunjang MBG antara lain adalah membutuhkan stok beras yang cukup, Buah-buahan, dan kelengkapan lainnya termasuk tenaga kerja yang tidak sedikit.
Tetapi harus disadari, dampak yang terjadi dengan dibutuhkannya berbagai ketersedian barang tersebut adalah menangisnya para pedagang kecil, hususnya yang bergerak dibidang perdagangan Buah-buahan.
Saat ini, para pedagang kecil atau eceran sangat kesulitan untuk membeli Buah-buahan, karena para pedagang besar lebih condong menjual buahnya untuk keperluan MBG ( kualitas penjualan yang tidak sedikit) ketimbang dijual kepada pedagang buah eceran.
Karena sulitnya mendapatkan Buah-buahan, akhirnya kalaupun ada harganya tentu tidaklah murah .
Hal lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah dampak dari tenaga kerja MBG, yang rata-rata tenaga kerjanya kaum perempuan ( Ibu Rumah Tangga).
Mungkin dampak dari tenaga kerja tersebut tidak akan terlihat langsung, namun tidak menutup kemungkinan, dengan seiringnya waktu baru akan terlihat dampaknya, salah satunya adalah berkurangnya perhatian terhadap kelangsungan rumah tangga, dimana yang biasanya bisa mengurus keluarga dengan maksimal akan berkurang karena imbas dari pekerjaannya.
Sehari dua hari atau bahkan hitungan bulan mungkin tidak akan ada dampaknya, namun akankah bertahan dengan kurun waktu tahunan.
Kita lihat secara nyata, para pekerja yang umumnya kaum ibu-ibunya memulai pekerjaannya ditengah malam ( jam 12 malam ) yang dilakukan dalam setiap harinya.
Hal ini tentunya membuat kelelahan yang berakibat kurang maksimalnya dalam menata kehidupan keluarga, terlebih jika masih memiliki anak kecil, akhirnya dampak dari pekerjaan tersebut muncul benih keributan dalam keluarga itu sendiri.
Hal diatas hanya beberapa dampak dari program MBG.
Alangkah bijaknya, jika program MBG yang menelan anggaran Triliuanan tersebut dialihkan ke hal lainnya yang tidak kalah penting, semisal untuk pendidikan dan kesehatan.
Andai saja pemerintah bisa bertindak lebih bijak dan melihat konsekuensi dari sebuah program yang dirasa baik namun ada yang lebih baik, tidak ada salahnya untuk dilakukan kajian ulang dan merubah sebuah program yang lebih mengena dengan tidak mengurangi dasar tujuan yaitu demi Bangsa dan Negara.
Kita ambil contoh yang nyata, jika anggaran MBG yang diberikan kepada Anak Bangsa dengan nominal anggaran per penerimanya sebesar Rp.10.000 dan dirata rata 25 x dalam satu bulan, maka setiap penerima program Makan Bergizi diasumsikan menelan anggaran Rp.250.000.
Dari total Rp.250.000 tersebut dikalikan berapa banyak jumlah penerima, ditambah lagi anggaran untuk operasional dan honor para pekerja MBG.
Andai saja uang tersebut diperuntukan bagi Pendidikan dan Kesehatan, mungkin manfaatnya akan lebih baik.
Pengalihan dari program MBG ke Program Pendidikan dan kesehatan secara gratis tanpa adanya mekanisme lain, itu akan lebih baik.
Semua Anak Bangsa dari tingkat PAUD hingga perguruan tinggi geratis secara total, biaya kesehatan bagi seluruh lapisan Masyarakat geratis total, itu akan lebih baik.
Jika anggaran MBG yang setiap penerimanya rata-rata dinominalkan dalam Rupiah sebesar Rp 250.000 dan dialihkan untuk pendidikan, maka akan berdampak sangat positif, salah satunya dari anggaran tersebut diperuntukan bagi Guru Honorer dan kebutuhan sekolah lainnya, kesimpulannya adalah pihak sekolah mampu memberikan pendapatan guru honorer semakin membaik.
Dengan adanya pendidikan gratis tentunya memberikan hak lebih banyak bagi seluruh anak Bangsa dalam memperoleh pendidikan secara merata, dengan Syarat pihak sekolah tidak diperbolehkan melakukan pungutan dengan dalih apapun.jika ada sekolah yang melakukan pungutan lansung dipidanakan.
Intinya Niat Pemerintah pasti Baik demi kemajuan Bangsa dan Rakyatnya, namun niat baik itu saja tidak cukup jika tidak dibarengi dengan pertimbangan dan kebijakan yang lebih bermanfaat.
Program MBG memang menjadi perhatian banyak pihak dan mungkin bisa menjadi percontohan dan kebanggaan, namun tidak ada salahnya jika berdasarkan kebijakan program tersebut dialihkan kedalam sebuah program yang lebih bermanfaat dengan tidak mengedepankan rasa ego dan berat untuk mengatakan MOHON MAAF. 

18 Nov 2025

Program untuk Desa perlu kajian mendalam

Penulis : R. Agus Syaefuddin

Bergulirnya anggaran dari pemerintah pusat maupun Daerah kepada Pemerintah Desa sangatlah tidak sedikit.
Dengan adanya anggaran yang diturunkan, tidak serta Merta dapat dilakukan sesuka hati, namun dibarengi dengan adanya aturan yang mengikat, termasuk kebijakan dalam penggunaannya.
Adanya aturan yang bertujuan untuk taat hukum, ternyata menjadi salah satu kendala bagi pemerintah desa untuk menggunakan anggaran yang ada.
Desa atau kuwu tidak bisa menggunakan kewenangannya secara mutlak dalam membangun desa karena terbentur oleh aturan yang telah diterapkan.
Semisal untuk membangun kantor desa anggarannya telah ditentukan dengan memanfaatkan keuangan dari Pemerintah Provinsi, yang dikenal dengan nama Banprov.
Sama halnya dengan anggaran lainnya, termasuk Anggaran Dana Desa, dimana keperuntukannya telah diterapkan termasuk persentase dalam pembagiannya.
Hal ini tentunya membuat pihak Desa tidak leluasa untuk menentukan nasibnya karena adanya batasan dalam penggunaan anggaran, sementara setiap desa mempunyai persoalan yang berbeda.
Yang lebih lagi adalah adanya potongan pajak yang harus ditaati oleh setiap penerima anggaran, sementara Masyarakat secara umum hanya melihat gelobal anggaran yang diterima desa tanpa memahami adanya potongan pajak.
Hingga akhirnya kerap menimbulkan persoalan yang menyudutkan pemerintah desa, ditambah lagi masih ada beberapa Kuwu atau pemerintah desa yang memanfaatkan anggaran tidak semestinya, hingga stigma buruk terhadap pemerintahan desa semakin lengkap.
Andai saja kebijakan pengguna anggaran diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah desa, mungkin akan lebih baik hasilnya, dengan catatan adanya pengawasan dan penegakan Hukum yang benar-benar ditegakan tanpa adanya pengecualian.
Persoalan di desa tidak hanya berhenti disitu, kendala lainnya adalah adanya aturan yang kerap berubah termasuk hadirnya beberapa program yang berdampak pada kesulitan pemerintah desa dalam menyusun maupun membuat laporan terkait penggunaan atau kebutuhan untuk anggaran itu sendiri.
Ada beberapa kebijakan pusat atau Daerah yang memang dirasa cocok diterapkan dan wajib dipatuhi oleh pemerintah Desa, namun tidak sedikit pula yang menimbulkan persoalan baru, semisal adanya wacana program sehari seribu, dimana tujuan dari program sehari seribu tersebut memang baik demi kebersamaan dan kepedulian akan sesama, namun nyatanya, dengan adanya program tersebut membuat pihak pemerintah Desa terlebih para Kuwu merasa kebingungan untuk bagaimana caranya merealisasikan program tersebut agar mampu dipahami oleh Masyarakat, sementara tidak sedikit Masyarakat yang taraf kehidupannya dibawah garis kemiskinan , seribu memang nilai tidak besar, namun jika dikalikan maka dalam setiap bulannya masyarakat harus merogoh kocek sebesar Rp.30.000 (tiga puluh ribu rupiah) ironisnya lagi ketentuan program tersebut sifatnya tidak memaksa, ini tentunya akan berdampak pada sulitnya mengontrol berapa anggaran sebenarnya yang diterima pihak pemerintah desa dari hasil sumbangan warga.
Bahkan tidak menutup kemungkinan, program sehari seribu akan menciptakan bibit kurupsi yang sulit untuk dikontrol.
Oleh karenanya, setiap kebijakan tentunya akan menghasilkan dua kepastian, antara tepat atau tidak tepat.
Semestinya setiap program yang akan digulirkan perlu adanya kajian mendalam terlebih dahulu agar tidak menciptakan sesuatu yang bersifat remang dan menjerat seseorang dalam lubang persoalan Hukum.